Masalah kesehatan reproduksi menjadi perhatian bersama karena dampaknya luas menyangkut berbagai aspek kehidupan dan menjadi parameter kemampuan Negara dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental, social yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan dalam segala hal yang berhubungan dengan system reproduksi dan fungsi proses-prosesnya (Wahid, 2000).
Kesehatan reproduksi remaja tidak lepas dari kesehatan di bidang kebidanan dan kandungan. Hingga saat ini masih banyak dijumpai penyakit-penyakit yang mengganggu alat reproduksi (alat kelamin/alat genital) pada wanita, diantaranya adalah penyakit keputihan, gangguan menstruasi (siklus haid tidak teratur) dan dismenore (BKKBN, 2005).
Kesulitan ini terjadi karena mereka biasanya enggan atau malu membicarakan atau memeriksakan diri ke dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Akibatnya, masalah yang seharusnya dapat diatasi secara singkat, mudah dan efektif tapi dibiarkan sehingga menjadi sulit atau bahkan tidak mungkin lagi ditangani (Coleman, 1999).
Berdasarkan data statistik dan jurnal penelitian (2001), 70% wanita mengalami dismenore, walaupun tingkat kejadian dismenore cukup tinggi dan penyakit ini sudah lama dikenal, sampai sekarang patogenesisnya belum dapat diketahui.
Di Indonesia dari keseluruhan angka kejadian kasus nyeri haid, 54,89% diantaranya merupakan dismenorea primer dan 9,36 % merupakan dismenorea sekunder. Gejala nyeri haid terjadi pada perempuan usia produktif 3-5 tahun setelah haid pertama dan belum pernah hamil. Nyeri haid primer sampai sekarang tidak jelas apa penyebabnya, tiba-tiba begitu seorang gadis mulai menstruasi selalu disertai keluhan nyeri. Bukan nyeri sekedar mules tapi jenis nyeri yang melilit hebat jika keluhan yang sama tidak berhenti setiap kali haid datang itulah yang diogolongkan sebagai dismenorea primer (Hartanto, 2001).
Kurang lebih 50% wanita yang sedang haid mengalami dismenore 10% mempunyai gejala yang hebat sehingga memerlukan istirahat ditempat tidur. Wanita yang menderita dismenorea lebih banyak hari libur dan prestasinya kurang baik disekolah dibandingkan dengan wanita yang tidak menderita dismenore (Yatim, 2001).
Nyeri saat haid tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa adanya upaya penanganan, karena mungkin saja gejala endometriosis bisa mempersulit wanita untuk hamil. Semua haid menimbulkan nyeri, namun yang tidak normal nyeri itu muncul menjelang menstruasi dan semakin berat saat haid pertama maupun kedua. Upaya penanganan untuk mengatasi dismenore ini ada beberapa terapi yang bisa dilakukan antara lain terapi hormonal yang melibatkan dokter, terapi bahan alami serta mengikuti pola hidup sehat yang bisa dilakukan sendiri. Pola hidup sehat tentu dapat dilakukan berupa asupan gizi seimbang, istirahat cukup dan olah raga sesuai kebutuhan (Wahyu, 2004).
Menurut Baziad (2004), wanita Indoesia yang mengalami dismenore lebih banyak mengatasinya dengan mengkonsumsi obat-obatan penghilang rasa nyeri yang beredar dipasaran. Sebagian masyarakat mempunyai anggapan yang salah bahwa nyeri ini dapat hilang dengan sendirinya apabila wanita yang bersangkutan menikah, sehingga mereka membiarkan gangguan tersebut (Boy, 2004).
Seorang wanita yang berpengetahuan kurang tentang upaya penanganan dismenore akan mudah terkena dibandingkan dengan wanita yang sudah mendapatkan penerangan dengan baik tentang upaya penanganan terhadap dismenore, informasi yang diperoleh dapat bersumber dari orang tua, guru, dokter (tenaga kesehatan) (Saraswati, 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar