Cari Blog Ini

Minggu, 23 Januari 2011

HUBUNGAN POLA ASUH KELUARGA DENGAN HARGA DIRI REMAJA

Ranjit Singh (Enhancing Personal Quality (2004) harga diri dibentuk oleh faktor-faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor-faktor internal adalah faktor yang diciptakan dan dikembangkan individu bersangkutan seperti keyakinan diri dan kecakapan, aspirasi, dan atau prestasi diri. Sementara faktor eksternal merupakan faktor-faktor lingkungan seperti pengaruh orangtua dan umpan balik guru, teman-teman dan kolega. Faktor-faktor eksternal memainkan peran penting dalam membentuk harga diri anggota keluarga selama masa remaja.
Menurut para psikolog, pengalaman awal selama masa kanak-kanak dan usia remaja seseorang memiliki pengaruh penting dalam pengembangan harga diri. Keluarga sebagai lembaga utama berperan dalam proses sosialisasi. Keluarga  membentuk kepribadian pada sang anak untuk memahami mana ha-hal yang bisa diterima atau tidak diterima, dicintai atau tidak dicintai, dan mana yang patut dan mana yang tidak dilakukan. Disini perilaku orangtua sangat sentral. Seperti Stephanie Martson dalam Singh, katakan, apa yang diperbuat orangtua akan merefleksi balik pada anak-anaknya dalam bentuk citra diri yang lambat laun akan mempengaruhi dimensi kehidupan sang anak. Para peneliti banyak membuktikan bahwa pola orangtua membesarkan anggota keluarga (anak) akan mempengaruhi harga diri sang anaknya. Orangtua dengan harga diri tinggi cenderung membentuk sang anak yang berharga diri tinggi sebaliknya kalau harga dirinya rendah.
Juga ditemukan bahwa para ibu yang senang menghukum, sifat bermusuhan, dan lekas marah pada anak perempuannya cenderung menyebabkan sang anak tersebut berkepribadian sedih, dongkol atau benci, murung, dan bermusuhan. Sebaliknya kalau sang ibu memiliki emosi stabil cenderung mampu membesarkan sang anak perempuannya dengan kepribadian menyenangkan, ramah, dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan baik.
Otangtua yang otoriter dan permisiv cenderung membentuk harga diri anak-anaknya menjadi rendah. Sementara itu, orangtua yang memberi perintah dengan jelas dan proporsional cenderung membentuk harga diri sang anak menjadi tinggi.
Pusat Psikiatri Universitas Texas (2007) dan sumber lain menyebutkan faktor-faktor penyebab bunuh diri pada anak usia belasan tahun, antara lain: Masalah orangtua (broken home), Kekerasan dalam keluarga, Dipermalukan teman di sekolah dan tempat bermain (bullying, pelecehan), Masalah ekonomi keluarga, Diabaikan oleh keluarga dan teman, Putus hubungan dengan kekasih.
Kasus-kasus bunuh diri anak-anak di masyarakat kita mencerminkan salah satu atau kombinasi dari faktor-faktor penyebab di atas, dengan kecenderungan utama karena rasa malu oleh teman. Misalnya, kasus bunuh diri dua murid SMP akhir-akhir ini di Garut dan Sukabumi (PR, 2 dan 3 Juli 2007) diduga akibat masalah di sekolah, yaitu malu oleh teman-temannya karena nilainya buruk dan tidak naik kelas. Berita surat kabar sebelumnya, seorang murid SD kelas VI di Garut gantung diri karena tidak mampu membayar iuran kegiatan esktra kurikuler. Seorang anak SD kelas V lainnya bunuh diri karena dimarahi habis-habisan oleh ibunya. Dan sekian banyak anak lainnya telah meninggal sia-sia karena berbagai faktor penyebab di atas. Perlu diingat, bahwa kasus-kasus bunuh diri anak-anak ini boleh jadi merupakan puncak gunung es (the tip of an iceberg). Jumlah anak-anak yang mempunyai masalah tetapi belum sampai nekat melakukan bunuh diri niscaya jauh lebih besar.
Dalam rangka menghindarkan terjadinya tindakan negatif (yang berakhir dengan bunuh diri) yang mungkin dilakukan oleh anak, marilah kita sebagai orangtua berusaha menjadi orangtua bijak, yaitu menjadi orang yang terdekat dengan anak, mencurahkan cinta dan kasih sayang yang adil dan tulus, dan selalu memberikan yang terbaik kepada anak.
Memang, berbagai penyebab anak berpikir dan bertindak negatif (seperti masalah perceraian orangtua, ekonomi keluarga, dan sebagainya) boleh jadi merupakan hal yang tidak dapat dielakkan. Namun demikian, menjadi orangtua bijak merupakan pilihan yang terbuka, yang pasti dapat dilakukan oleh semua orangtua, apapun kondisinya.
Pada umumnya, prestasi yang diperoleh anak merupakan salah satu bukti bahwa kebutuhan dasar hidup (baik material maupun spiritual) anak secara prinsip telah terpenuhi. Anak yang bahagia hati dan pikirannya akan terlepas dari pikiran dan tindakan negatif, apalagi bunuh diri. Namun sebaliknya, bagi anak yang kurang perhatian dan curahan kasih sayang dari orangtuanya, jangankan berharap untuk mendapatkan prestasi yang membanggakan, berpikir positif saja ia akan sulit melakukannya. Kesedihan, kekecewaan, dan hilangnya kepercayaan diri yang sering ia rasakan akan cenderung lebih memicu timbulnya pikiran negatif.
Pola asuh orang tua ini sangat mempengaruhi bagaimana kelak anak berperilaku, bentuk-bentuk kepribadian anak secara keseluruhan. Pola asuh anak juga akan mempengaruhi Self Esteem atau Harga dirinya di kemudian hari. Self Esteem adalah penilaian seseorang terhadap dirinya yang berkembang dari feeling of belonging (perasaan diterima oleh kelompok sosialnya), feeling competent (perasaan efisien, produktif) dan feeling worthwhile (perasaan berharga, cantik, pandai, baik) (Felker, 1998). Jadi Harga diri seseorang bisa dikatakan baik apabila ia merasa diterima oleh kelompok sosialnya, merasa mampu dan merasa berharga.
Hal-hal ini adalah yang diinginkan oleh setiap orang tua pada anaknya. Setiap orang tua yang merasa memiliki anak-anak dengan perasaan tersebut di atas tentu bangga dan rasanya tidak sia-sia membesarkannya dan rasanya apa yang telah diperbuatnya kepada anak memang adalah hal yang benar. Namun seringkali orang tua berperilaku sebaliknya. Artinya, ia baru merasa bangga pada anaknya apabila anaknya diterima oleh kelompoknya, kompeten kalau bisa dalam segala bidang, dan punya nilai lebih dimata orang lain seperti cantik, pintar, mahir dalam melakukan sesuatu. Hal ini biasanya bukanlah menambah rasa harga diri anak, melainkan justru seringkali merupakan alat ampuh untuk mematikan harga diri anak. Karena tanpa hal-hal tersebut maka si anak tidak pantas memiliki harga diri. Padahal harga diri si anak justru berkembang dari bagaimana perlakuan orang tua terhadap anaknya. Sehingga yang terpenting adalah perasaan diterima, perasaan kompeten dan perasaan berharga dari si anak itu sendiri terhadap dirinya, dan bukan dari orang tuanya. 
Anak perlu diajarkan untuk memiliki self confidence (rasa percaya diri) yaitu mempunyai perasaan yang teguh pada pendiriannya, tabah apabila menghadapi masalah, kreatif dalam mencari jalan keluar dan ambisi dalam mencapai sesuatu. Ia juga perlu diajarkan untuk mempunyai self respect (hormat pada diri sendiri), yaitu mempunyai perasaan yang konstruktif, hormat pada orang lain, dan bersyukur pada apa yang dimilikinya. Berbagai cara dapat diupayakan untuk menumbuhkan rasa percaya diri serta rasa hormat diri pada anak ini oleh orang tua. Diantaranya adalah dengan mendorongnya untuk selalu berupaya, menerima kelebihan dan kekurangannya, dan memberikannya pujian dan hadiah pada perilakunya yang mengarah pada rasa percaya diri dan rasa hormat dirinya tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar